Selasa, Mei 10, 2011

Makna Kalimat Tauhid Sebenarnya


Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih sekolah, kita diajarkan bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Inilah makna yang selama ini terpateri dalam hati sanubari kita tanpa sedikit pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut. Ini kerana memang itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah dulu. Salah faham ini tidak hanya dialami oleh masyarakat awam, bahkan orang-orang yang dikenali sebagai “cendekiawan” muslim pun salah faham tentang makna kalimat tauhid ini. Buktinya, di antara mereka ada yang mengertikan “laa ilaaha illallah” sebagai “Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.

Untuk Apa Membahas Makna Kalimat Tauhid?

Perlu diketahui bahawa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan oleh seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya serta mengamalkan tuntutannya. Hal ini seperti ibadah shalat yang tidak akan sah kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak melakukan pembatal shalat. Di antara syarat “laa ilaaha illallah” yang mesti dipenuhi adalah seseorang mesti mengetahui makna kalimat tersebut.

Allah Ta’ala berfirman yang ertinya, “Maka ketahuilah, bahawa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah” (QS. Muhammad [47]: 19).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahawa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk syurga” (HR. Muslim).

Daripada dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.

Tidak Ada “Tuhan” selain Allah

“Tidak ada Tuhan selain Allah” merupakan makna kalimat “laa ilaaha illallah” yang popular di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, kata “ilah” diertikan dengan kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui bahwa kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki dua makna. Pertama, kata “Tuhan” yang dimaksudkan dengan pencipta, pengatur, penguasa alam semesta, pemberi rezeki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan mudharat. Kedua, kata “Tuhan” yang bererti sesembahan. Iaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktiviti ibadah.

Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” juga memiliki dua pengertian. Pengertian pertama, “Tidak ada pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta selain Allah”. Pengertian kedua, “Tidak ada sesembahan selain Allah”. Oleh kerana itu, dalam perbahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memberi makna kalimat “laa ilaaha illallah” dengan kedua pengertian tersebut sudah benar serta berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah?

Tidak Ada Pencipta, Pemberi rezeki, dan Pengatur alam semesta selain Allah

Memberi makna “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang bererti “Tidak ada pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta selain Allah” adalah pemahaman yang keliru. Berikut ini kami sampaikan beberapa bukti yang menunjukkan kesalahan tersebut.

Bukti pertama, kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui bahawa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Zat Yang Menciptakan, Memberi rezeki, dan Mengatur alam semesta. Hal ini dapat kita ketahui dari dalil berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman yang ertinya, “Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab,’Allah’” (QS. Yunus [10]: 31).

Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa kaum musyrikin pada zaman dahulu meyakini sifat-sifat rububiyyah Allah, iaitu bahwa Allah-lah satu-satunya Zat Yang Menciptakan, Zat Yang Memberi rezeki, dan Zat Yang Mengatur urusan alam semesta. Namun, keyakinan seperti itu ternyata belum cukup untuk memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan seperti itu.

Oleh karena itu, apabila kalimat “laa ilaaha illallah” diertikan dengan “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rezeki selain Allah”, atau “Tidak ada pengatur alam semesta selain Allah”, maka apa yang membedakan antara orang-orang musyrik dan orang-orang Islam? Jika orang-orang musyrik itu masuk Islam dengan dituntut mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan makna seperti itu, lantas apa yang membedakan mereka ketika masih musyrik dan ketika sudah masuk Islam? Bukankah ketika mereka masih musyrik juga sudah mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya Zat Yang Menciptakan, Zat Yang Memberi rezeki, dan Zat Yang Mengatur urusan alam semesta?

Bukti kedua, kesan daripada makna tersebut bererti kaum musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang musyrik. Demikian pula, segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah kepada selain Allah Ta’ala bererti bukan syirik. Hal ini karena kesan daripada makna tersebut adalah seseorang tetap disebut sebagai seorang muslim meskipun dia berdoa meminta kepada para wali yang sudah mati, atau berdoa kepada Allah melalui perantaraan (tawassul) orang-orang shalih yang sudah meninggal, atau menyembelih untuk jin penunggu jambatan, selama mereka memiliki keyakinan bahawa Allah-lah satu-satunya Zat Yang Menciptakan, Memberi rezeki, dan Mengatur alam semesta. Maka sungguh, ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Kerana ternyata makna tersebut akan membuka berbagai macam pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin.

Tidak Ada Sesembahan selain Allah?

Makna kedua dari kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah “Tidak ada sesembahan selain Allah”. Namun makna ini juga tidak benar, meskipun secara bahasa (Arab) kata “ilah” memiliki makna “al-ma’bud” (sesembahan). Namun sebelumnya, perlu kita cermati bersama bahwa kalimat “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, ertinya sama dengan “Semua sesembahan adalah Allah”. Contoh lain adalah ketika kita mengatakan, ”Tidak ada polisi kecuali memiliki pistol”. Maka ertinya sama dengan, ”Semua polis memiliki pistol”.

Meskipun makna “ilah” adalah “ma’bud” (sesembahan), namun memberi makna “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” tetap saja tidak tepat. Hal itu dapat ditunjukkan dari bukti-bukti berikut ini.

Bukti pertama, makna tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realiti yang sebenarnya. Bagaimana mungkin kita memberi makna kalimat “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah”, padahal realiti menunjukkan bahawa terdapat sesembahan yang lain di samping Allah? Buktinya, kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sesembahan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah matahari dan bulan, serta ada pula yang menyembah batu dan pohon. (Lihat Syarh Al Qowa’idul Arba’, hal. 25).

Bahkan dalam banyak ayat pula Allah Ta’ala menyebut sesembahan orang-orang musyrik sebagai “ilah”. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan” (QS. Yasin [36]: 73). Kesimpulannya, memberi makna “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” adalah tidak tepat kerana realiti menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah sendiri mengakui bahwa memang terdapat sesembahan selain Dia.

Bukti kedua, kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah” menimbulkan kesan yang sangat berbahaya. Karena kesan kalimat itu menunjukkan bahwa semua sesembahan orang musyrik adalah Allah.

Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan kecuali Allah” juga dapat dilihat dari kesan yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah”, bererti “semua sesembahan yang ada di alam semesta ini adalah Allah”. Maka Isa bin Maryam adalah Allah, karena dia adalah sesembahan orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, Latta, Uzza, dan Manat semuanya adalah Allah, karena mereka adalah sesembahan kaum musyrikin pada zaman dahulu. Para wali yang dijadikan sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah adalah Allah juga, karena mereka merupakan sesembahan para penyembah kubur.

Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada sesembahan selain Allah” menimbulkan kesan yang sangat batil. Kesan pertama, Allah itu tidak hanya satu, namun berbilang sebanyak jumlah bilangan sesembahan yang ada di muka bumi ini. Sedangkan kesan batil yang kedua, bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah wihdatul wujud).

Makna Kalimat “Laa ilaaha illallah” yang Tepat

Syaikh Al-‘Allamah Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah berkata, ”Makna kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “laa ma’buuda bi haqqin illallah” [tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah]. Kalimat “laa ilaaha” bermakna meniadakan seluruh sesembahan selain Allah. Maka tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah (“illallah”). Sehingga kalimat “illallah” bermakna menetapkan segala jenis ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata. Dia-lah sesembahan yang haq (yang benar) dan yang berhak untuk diibadahi” (Lihat Ma’arijul Qobul, 2/516).

Berdasarkan penjelasan beliau rahimahullah tersebut, maka makna yang tepat dari kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”. Ditambahkannya kalimat “yang berhak disembah” ini dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali sesembahan-sesembahan selain Allah Ta’ala di muka bumi ini. Akan tetapi, dari sekian banyak sesembahan tersebut, yang berhak untuk disembah hanyalah Allah Ta’ala semata. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala yang ertinya, “Demikianlah, kerana sesungguhnya Allah, Dia-lah (sesembahan) yang haq (benar). Dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah itulah (sesembahan) yang batil” (QS. Luqman [30]: 31).

Kedua, dari sisi kaedah bahasa Arab pada kalimat “laa ilaaha illallah” memang ada satu kata yang dibuang, iaitu “haqqun”. Sehingga kalimat lengkap dari kalimat tauhid tersebut sebenarnya adalah “laa ilaaha haqqun illallah” yang bererti “tidak ada sesembahan yang haq (atau yang berhak disembah) selain Allah”. Kalau ada yang bertanya, ”Mengapa ada kata yang dibuang?” Maka jawabannya adalah karena kaedah bahasa Arab menuntut agar kalimat tersebut disampaikan secara ringkas, namun dapat difahami oleh setiap orang yang mendengarnya. Meskipun kata “haqqun” dibuang, namun orang-orang musyrik jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada satu kata yang dibuang (iaitu “haqqun”) dengan hanya mendengar kalimat “laa ilaaha illallah”. Ini kerana orang-orang musyrik jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam berbahasa Arab. (Lihat At-Tamhiid, hal. 77-78)

Demikianlah perbahasan tentang makna yang benar dari kalimat tauhid. Semoga dengan perbahasan yang singkat ini dapat mengangkat sedikit di antara kejahilan diri kita tentang agama ini. Dan sungguh, memahami kalimat tauhid merupakan salah satu nikmat Allah Ta’ala yang sangat besar bagi hamba-Nya. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah Ta’ala memberikan nikmat kepada seorang hamba dengan suatu nikmat yang lebih agung dari nikmat diberikan pemahaman terhadap kalimat ‘laa ilaaha illallah’”. [M. Saifudin Hakim]

Referensi : http://buletin.muslim.or.id/aqidah/kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid

"Jika Anda ingin mengunduh File ini, Anda bisa mendownload melalui link ini."

0 Comments:

Posting Komentar

Untuk Saudaraku, Sahabatku, dan Temanku...


"Cintailah Allah karena nikmat yang di anugerahkan kepada Kalian, Cintailah aku karena Cintanya Kalian kepada Allah"




Muslims Child™ © 2011 | Design by Abdul Munir